Minggu, 17 Agustus 2014

Di dalam fotografi kita mengenal 2 jenis sumber cahaya, yaitu:
  1. Available Light : Cahaya yang telah tersedia secara otomatis di lingkungan sekitar. Kita sebagai fotografer tidak bisa mengatur besar-kecil serta arah penyinaran cahaya tersebut. Ex: matahari, lampu kota, lampu panggung, lampu ruangan. Istilah ini sering disebut juga Ambient light
  2. Artificial Light : Cahaya yang sengaja kita ciptakan dan kita adakan ketika kita sedang berfotografi. Sebagai fotografer kita bisa mengatur besar-kecil serta mengubah arah penyinaran dari cahaya tersebut. Ex: lampu studio, flash/ lampu kilat, senter.
Sebagai penggemar fotografi maupun fotografer profesional, terkadang kita perlu untuk menggabungkan dua jenis sumber cahaya tersebut kedalam sebuah foto. Kita bisa menggabungkan beberapa available light misalnya sinar matahari dengan lampu ruangan), dan juga menggabungkan beberapa artificial light misalnya lampu studio dengan flash dan available light dengan artificial light (lampu kota dengan lampu kilat).
Mengapa kita perlu memakai teknik Mix Lighting ini dalam berfotografi? Alasan utamanya adalah supaya kita bisa menghasilkan mood/ rasa cahaya foto sesuai dengan konsep pemotretan yang kita inginkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa berbagai sumber cahaya yang saya sebutkan di atas, mempunyai nilai white balance dalam Kelvin yang berbeda-beda. Sebagai fotografer yang kreatif kita tidak perlu cemas dan takut dengan nilai kelvin yang berbeda-beda tersebut. Sesekali cobalah gabungkan berbagai sumber cahaya tersebut agar saling bertabrakan di dalam sebuah foto.
Dalam tulisan ini, saya akan mencontohkan sumber cahaya yang merupakan favorit saya yaitu flash/ lampu kilat untuk digabungkan dengan berbagai sumber cahaya yang lain. Saya sengaja hanya menempatkan flash sebagai fill light (cahaya pendukung) dalam contoh-contoh foto saya. Hal ini saya lakukan karena banyak pandangan/ pendapat miring yang mengatakan bahwa cahaya flash susah dikontrol dan terlihat tidak alami. Dengan hanya menempatkan flash sebagai fill in, saya ingin membuktikan bahwa ternyata flash bisa dikontrol dan bahkan terlihat alami ketika berkolaborasi dengan sumber cahaya yang lain.
Foto 1 : saya memakai cahaya matahari sebagai main light dan 1 flash sebagai fill light. Cahaya matahari sore yang agak redup menyinari keseluruhan dari foto ini. Sedangkan flash saya tembakkan dari arah belakang objek untuk mengarsir tanaman yang ada di belakang buku. Flash sebagai fill light mampu memberi garis dan memunculkan warna kekuningan dari tanaman yang digunakan sebagai background. Walaupun hanya sebagai fill light, namun flash sangat menolong untuk menjadikan foto ini lebih berdimensi. Flash ditembakkan dengan mode manual dan kekuatan penuh karena harus berperang dengan sinar matahari.
foto1
Foto 2 : Di foto 2 ini saya memakai flash sebagai fill light. Sebagai main light nya saya memakai spot lamp (lampu sorot kecil yang bisa dipakai di pameran foto/ lukisan). Saya menempatkan spot lamp di sebelah kanan dari objek. Sedangkan flash saya tempatkan dari arah kebalikannya yaitu di sebelah kiri objek. Flash saya setting di ukuran kecil dan saya pantulkan ke tembok putih. Flash bertujuan untuk meminimalisir shadow yang ditimbulkan oleh spot lamp ke arah sayuran.
Konsep foto ini adalah suasana dapur yang sedang disinari cahaya matahari pagi. Sementara foto ini saya buat sekitar jam 02.00 dini har Selamat mencoba dan jangan takut untuk kreatif!
Salam Fotografi,
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf
Sedikit mengenang jaman dulu, saat mengunakan kamera film, pendekatan saya agak berbeda dengan mengunakan kamera digital. Saat memotret dengan kamera film saya jauh lebih hati-hati, karena biaya yang dikeluarkan tergantung dari berapa kali saya menjepret. Film tidak murah dan juga isinya tidak banyak. Sekeping memory card berkapasitas 8GB bisa menampung ratusan foto JPG. Sedangkan satu rol film hanya bisa digunakan untuk 24 atau 36 exposure/jepretan.
Di zaman film juga tidak ada menu atau tombol macam-macam. Hanya beberapa hal yang perlu diganti-ganti, yaitu shutter speed dan bukaan/diafragma lensa. ASA/ISO tidak bisa diganti kecuali ganti film-nya. Yang perlu diubah lainnya yaitu fokus, yang diganti dengan memutar ring fokus lensa secara manual. Jadi memotret dengan kamera film lebih sederhana, tapi kita perlu lebih teliti dan berhati-hati. Saat mengunakan film ASA rendah, hampir setiap saat saya mengunakan tripod untuk mendapatkan hasil ketajaman maksimal.
Di era digital, kita terbuai dengan rentang ISO yang sangat lebar dari kamera sehingga sering memotret dengan ISO tinggi. Memotret dengan ISO tinggi memang praktis karena shutter speed yang didapatkan akan cukup cepat sehingga tetap tajam meski kamera tidak dipasang di tripod.
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
Beberapa saat lalu saya membayangkan dan mempraktikkan lagi memotret dengan pendekatan seperti era film seperti berikut ini:
  1. ISO saya set ke 100 untuk hasil terbaik
  2. Hampir setiap saat, kamera saya diletakkan diatas tripod untuk ketajaman dan komposisi yang akurat
  3. Foto dengan hati-hati dan perlahan-lahan, terutama komposisinya. Di dalam pikiran saya, tertanam bahwa saya hanya punya 36 kali exposure saja, jadi setiap exposure harus saya hargai.
  4. Saya jarang masuk ke menu dan tidak mengunakan mode otomatis/semi-auto
  5. Hampir tidak pernah meninjau gambar setelah memotret. Di jaman film, kita tidak bisa meninjau foto yang baru dijepret sama sekali. Saya biasanya menonaktifkan auto review. Waktu saya lebih saya gunakan untuk mencari komposisi yang lebih baik.
Pendekatan memotret di jaman film memang terkesan merepotkan, nenteng-nenteng tripod, memotret dengan perlahan-lahan, lebih teliti dalam melihat pemandangan dll. Tapi setelah beberapa saat, saya sudah terbiasa kembali dan lebih menikmati proses, hasilnya juga lebih solid, kesalahan lebih sedikit dan hasil foto dan komposisi lebih tajam. Saya memotret lebih sedikit tapi lebih banyak yang puas. Tidak ada rasa sesal saat memeriksa hasil fotonya.
—-
Mantapkan teknik dan seni fotografi via workshop “Mastering art and photography techniques
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf
Sedikit mengenang jaman dulu, saat mengunakan kamera film, pendekatan saya agak berbeda dengan mengunakan kamera digital. Saat memotret dengan kamera film saya jauh lebih hati-hati, karena biaya yang dikeluarkan tergantung dari berapa kali saya menjepret. Film tidak murah dan juga isinya tidak banyak. Sekeping memory card berkapasitas 8GB bisa menampung ratusan foto JPG. Sedangkan satu rol film hanya bisa digunakan untuk 24 atau 36 exposure/jepretan.
Di zaman film juga tidak ada menu atau tombol macam-macam. Hanya beberapa hal yang perlu diganti-ganti, yaitu shutter speed dan bukaan/diafragma lensa. ASA/ISO tidak bisa diganti kecuali ganti film-nya. Yang perlu diubah lainnya yaitu fokus, yang diganti dengan memutar ring fokus lensa secara manual. Jadi memotret dengan kamera film lebih sederhana, tapi kita perlu lebih teliti dan berhati-hati. Saat mengunakan film ASA rendah, hampir setiap saat saya mengunakan tripod untuk mendapatkan hasil ketajaman maksimal.
Di era digital, kita terbuai dengan rentang ISO yang sangat lebar dari kamera sehingga sering memotret dengan ISO tinggi. Memotret dengan ISO tinggi memang praktis karena shutter speed yang didapatkan akan cukup cepat sehingga tetap tajam meski kamera tidak dipasang di tripod.
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
Beberapa saat lalu saya membayangkan dan mempraktikkan lagi memotret dengan pendekatan seperti era film seperti berikut ini:
  1. ISO saya set ke 100 untuk hasil terbaik
  2. Hampir setiap saat, kamera saya diletakkan diatas tripod untuk ketajaman dan komposisi yang akurat
  3. Foto dengan hati-hati dan perlahan-lahan, terutama komposisinya. Di dalam pikiran saya, tertanam bahwa saya hanya punya 36 kali exposure saja, jadi setiap exposure harus saya hargai.
  4. Saya jarang masuk ke menu dan tidak mengunakan mode otomatis/semi-auto
  5. Hampir tidak pernah meninjau gambar setelah memotret. Di jaman film, kita tidak bisa meninjau foto yang baru dijepret sama sekali. Saya biasanya menonaktifkan auto review. Waktu saya lebih saya gunakan untuk mencari komposisi yang lebih baik.
Pendekatan memotret di jaman film memang terkesan merepotkan, nenteng-nenteng tripod, memotret dengan perlahan-lahan, lebih teliti dalam melihat pemandangan dll. Tapi setelah beberapa saat, saya sudah terbiasa kembali dan lebih menikmati proses, hasilnya juga lebih solid, kesalahan lebih sedikit dan hasil foto dan komposisi lebih tajam. Saya memotret lebih sedikit tapi lebih banyak yang puas. Tidak ada rasa sesal saat memeriksa hasil fotonya.
—-
Mantapkan teknik dan seni fotografi via workshop “Mastering art and photography techniques
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf
Sedikit mengenang jaman dulu, saat mengunakan kamera film, pendekatan saya agak berbeda dengan mengunakan kamera digital. Saat memotret dengan kamera film saya jauh lebih hati-hati, karena biaya yang dikeluarkan tergantung dari berapa kali saya menjepret. Film tidak murah dan juga isinya tidak banyak. Sekeping memory card berkapasitas 8GB bisa menampung ratusan foto JPG. Sedangkan satu rol film hanya bisa digunakan untuk 24 atau 36 exposure/jepretan.
Di zaman film juga tidak ada menu atau tombol macam-macam. Hanya beberapa hal yang perlu diganti-ganti, yaitu shutter speed dan bukaan/diafragma lensa. ASA/ISO tidak bisa diganti kecuali ganti film-nya. Yang perlu diubah lainnya yaitu fokus, yang diganti dengan memutar ring fokus lensa secara manual. Jadi memotret dengan kamera film lebih sederhana, tapi kita perlu lebih teliti dan berhati-hati. Saat mengunakan film ASA rendah, hampir setiap saat saya mengunakan tripod untuk mendapatkan hasil ketajaman maksimal.
Di era digital, kita terbuai dengan rentang ISO yang sangat lebar dari kamera sehingga sering memotret dengan ISO tinggi. Memotret dengan ISO tinggi memang praktis karena shutter speed yang didapatkan akan cukup cepat sehingga tetap tajam meski kamera tidak dipasang di tripod.
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
Beberapa saat lalu saya membayangkan dan mempraktikkan lagi memotret dengan pendekatan seperti era film seperti berikut ini:
  1. ISO saya set ke 100 untuk hasil terbaik
  2. Hampir setiap saat, kamera saya diletakkan diatas tripod untuk ketajaman dan komposisi yang akurat
  3. Foto dengan hati-hati dan perlahan-lahan, terutama komposisinya. Di dalam pikiran saya, tertanam bahwa saya hanya punya 36 kali exposure saja, jadi setiap exposure harus saya hargai.
  4. Saya jarang masuk ke menu dan tidak mengunakan mode otomatis/semi-auto
  5. Hampir tidak pernah meninjau gambar setelah memotret. Di jaman film, kita tidak bisa meninjau foto yang baru dijepret sama sekali. Saya biasanya menonaktifkan auto review. Waktu saya lebih saya gunakan untuk mencari komposisi yang lebih baik.
Pendekatan memotret di jaman film memang terkesan merepotkan, nenteng-nenteng tripod, memotret dengan perlahan-lahan, lebih teliti dalam melihat pemandangan dll. Tapi setelah beberapa saat, saya sudah terbiasa kembali dan lebih menikmati proses, hasilnya juga lebih solid, kesalahan lebih sedikit dan hasil foto dan komposisi lebih tajam. Saya memotret lebih sedikit tapi lebih banyak yang puas. Tidak ada rasa sesal saat memeriksa hasil fotonya.
—-
Mantapkan teknik dan seni fotografi via workshop “Mastering art and photography techniques
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf
 Apakah semua pelajaran menarik ????
Mungkin kamu mendapatkan beberapa pelajaran pada pertama kalinya adalah sesuatu yang menarik, tetapi beberapa pelajaran lainnya tidak dengan serta merta memberikan kesan yang sama dalam otak kamu. Pertanyaannya, bagaimanakah kita menciptakan bahwa suatu pelajaran menjadi menarik. Beberapa langkah berikut diantaranya akan membuat beberapa pelajaran menjadi menarik, yaitu:
  • Pertimbangkan kembali kenapa kamu mau mengambil pelajaran tersebut?
  • Tanamkan dalam diri anda bahwa pelajaran tersebut penting bagi anda.
  • Kaitkan pelajaran tersebut dengan keseharian hidup dan karir kamu.
  • Cobalah untuk mengaitkan pelajaran dengan sesuatu yang menarik bagi kamu.
  • Ingatlah, bahwa suatu pelajaran mungkin merupakan pengetahuan dasar yang akan membawa anda kepada pemahaman tingkat lanjut dalam bidang yang sedang anda sukai dalam kehidupan sehari-hari atau dalam karir/kerja kamu.
Beberapa orang mengalami kesulitan ketika ia belajar sesuatu untuk pertama kalinya. Misalnya, seseorang yang sedang mempelajari istilah-istilah dan materi pelajaran baru. Kamu dapat meningkatkan pendekatan positif terhadap belajar kamu tersebut, bahkan untuk semua pelajaran, dengan cara memilih orang yang benar-benar ahli dalam bidang bahasa dan pelajaran-pelajaran inti. Cara lainnya adalah bahwa berupaya kamu untuk mempelajari dan memahami suatu pelajaran merupakan langkah awak untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.
Kamu dapat meningkatkan ketertarikan dengan cara meluangkan banyak waktu untuk memahami pelajaran tersebut. Jika tatap muka/perkuliahan membuat kamu tidak menarik, maka carilah buku yang relevan dengan yang sedang kamu pelajaran sebagai pendekatan lain. Jika kamu mendapatkan bahwa buku tersebut susah untuk difahami, carilah buku lainnya: kamu dapat menemukan bahwa suatu hal begitu sangat mudah dimengerti dan sangat cocok dengan kebutuhan kamu. Jika masih tidak mengerti, maka cobalah untuk bertanya kepada guru/dosen/pelatih anda.
Mempelajari suatu pelajaran ibarat meletakkan bagian-bagian kecil fuzzle. Kamu anda mudah berkonsentrasi ketika ia menarik bagimu, dan sebagai sesuatu yang menarik akan membuat anda dapat meningkat/tumbuh dengan lebih banyak. Banyaknya hal yang kamu pelajari adalah sebanyak apa yang kamu pikirkan tentang suatu pelajaran secara keseluruhan dan merupakan sesuatu yang terbaik bagi kamu. Menguasai sesuatu berarti kamu akan menemukan kesulitan di awal, tetapi membuat anda bertambah PD untuk mencapai kemahiran dalam belajar.
Kegembiraan dalam belajar dapat terjadi pada proses menelaah pengetahuan, menggali pengalaman, mengembangkan keterampilan untuk memecahkan dan memutuskan masalah, dan dari pemahaman terdalam kamu. Sebagai contoh, mempelajari literatur, seni, masyarakat, atau dunia. Kegembiraan juga hadir karena adanya hasil terbaik dari aktivitas belajar kamu dan keberhasilan saat menghadapi ujian.
Sedikit mengenang jaman dulu, saat mengunakan kamera film, pendekatan saya agak berbeda dengan mengunakan kamera digital. Saat memotret dengan kamera film saya jauh lebih hati-hati, karena biaya yang dikeluarkan tergantung dari berapa kali saya menjepret. Film tidak murah dan juga isinya tidak banyak. Sekeping memory card berkapasitas 8GB bisa menampung ratusan foto JPG. Sedangkan satu rol film hanya bisa digunakan untuk 24 atau 36 exposure/jepretan.
Di zaman film juga tidak ada menu atau tombol macam-macam. Hanya beberapa hal yang perlu diganti-ganti, yaitu shutter speed dan bukaan/diafragma lensa. ASA/ISO tidak bisa diganti kecuali ganti film-nya. Yang perlu diubah lainnya yaitu fokus, yang diganti dengan memutar ring fokus lensa secara manual. Jadi memotret dengan kamera film lebih sederhana, tapi kita perlu lebih teliti dan berhati-hati. Saat mengunakan film ASA rendah, hampir setiap saat saya mengunakan tripod untuk mendapatkan hasil ketajaman maksimal.
Di era digital, kita terbuai dengan rentang ISO yang sangat lebar dari kamera sehingga sering memotret dengan ISO tinggi. Memotret dengan ISO tinggi memang praktis karena shutter speed yang didapatkan akan cukup cepat sehingga tetap tajam meski kamera tidak dipasang di tripod.
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
Beberapa saat lalu saya membayangkan dan mempraktikkan lagi memotret dengan pendekatan seperti era film seperti berikut ini:
  1. ISO saya set ke 100 untuk hasil terbaik
  2. Hampir setiap saat, kamera saya diletakkan diatas tripod untuk ketajaman dan komposisi yang akurat
  3. Foto dengan hati-hati dan perlahan-lahan, terutama komposisinya. Di dalam pikiran saya, tertanam bahwa saya hanya punya 36 kali exposure saja, jadi setiap exposure harus saya hargai.
  4. Saya jarang masuk ke menu dan tidak mengunakan mode otomatis/semi-auto
  5. Hampir tidak pernah meninjau gambar setelah memotret. Di jaman film, kita tidak bisa meninjau foto yang baru dijepret sama sekali. Saya biasanya menonaktifkan auto review. Waktu saya lebih saya gunakan untuk mencari komposisi yang lebih baik.
Pendekatan memotret di jaman film memang terkesan merepotkan, nenteng-nenteng tripod, memotret dengan perlahan-lahan, lebih teliti dalam melihat pemandangan dll. Tapi setelah beberapa saat, saya sudah terbiasa kembali dan lebih menikmati proses, hasilnya juga lebih solid, kesalahan lebih sedikit dan hasil foto dan komposisi lebih tajam. Saya memotret lebih sedikit tapi lebih banyak yang puas. Tidak ada rasa sesal saat memeriksa hasil fotonya.
—-
Mantapkan teknik dan seni fotografi via workshop “Mastering art and photography techniques
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf
Sedikit mengenang jaman dulu, saat mengunakan kamera film, pendekatan saya agak berbeda dengan mengunakan kamera digital. Saat memotret dengan kamera film saya jauh lebih hati-hati, karena biaya yang dikeluarkan tergantung dari berapa kali saya menjepret. Film tidak murah dan juga isinya tidak banyak. Sekeping memory card berkapasitas 8GB bisa menampung ratusan foto JPG. Sedangkan satu rol film hanya bisa digunakan untuk 24 atau 36 exposure/jepretan.
Di zaman film juga tidak ada menu atau tombol macam-macam. Hanya beberapa hal yang perlu diganti-ganti, yaitu shutter speed dan bukaan/diafragma lensa. ASA/ISO tidak bisa diganti kecuali ganti film-nya. Yang perlu diubah lainnya yaitu fokus, yang diganti dengan memutar ring fokus lensa secara manual. Jadi memotret dengan kamera film lebih sederhana, tapi kita perlu lebih teliti dan berhati-hati. Saat mengunakan film ASA rendah, hampir setiap saat saya mengunakan tripod untuk mendapatkan hasil ketajaman maksimal.
Di era digital, kita terbuai dengan rentang ISO yang sangat lebar dari kamera sehingga sering memotret dengan ISO tinggi. Memotret dengan ISO tinggi memang praktis karena shutter speed yang didapatkan akan cukup cepat sehingga tetap tajam meski kamera tidak dipasang di tripod.
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
ISO 100, f/8, 0.5 detik dengan tripod
Beberapa saat lalu saya membayangkan dan mempraktikkan lagi memotret dengan pendekatan seperti era film seperti berikut ini:
  1. ISO saya set ke 100 untuk hasil terbaik
  2. Hampir setiap saat, kamera saya diletakkan diatas tripod untuk ketajaman dan komposisi yang akurat
  3. Foto dengan hati-hati dan perlahan-lahan, terutama komposisinya. Di dalam pikiran saya, tertanam bahwa saya hanya punya 36 kali exposure saja, jadi setiap exposure harus saya hargai.
  4. Saya jarang masuk ke menu dan tidak mengunakan mode otomatis/semi-auto
  5. Hampir tidak pernah meninjau gambar setelah memotret. Di jaman film, kita tidak bisa meninjau foto yang baru dijepret sama sekali. Saya biasanya menonaktifkan auto review. Waktu saya lebih saya gunakan untuk mencari komposisi yang lebih baik.
Pendekatan memotret di jaman film memang terkesan merepotkan, nenteng-nenteng tripod, memotret dengan perlahan-lahan, lebih teliti dalam melihat pemandangan dll. Tapi setelah beberapa saat, saya sudah terbiasa kembali dan lebih menikmati proses, hasilnya juga lebih solid, kesalahan lebih sedikit dan hasil foto dan komposisi lebih tajam. Saya memotret lebih sedikit tapi lebih banyak yang puas. Tidak ada rasa sesal saat memeriksa hasil fotonya.
—-
Mantapkan teknik dan seni fotografi via workshop “Mastering art and photography techniques
- See more at: http://www.infofotografi.com/blog/#sthash.PESHX4Ni.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Membentuk Karier Sejak Dini

Banyak orang beranggapan kalau kita berhasil masuk UI, masa depan sudah terjamin dan pasti gampang diterima kerja di mana pun. Namun, t...